Menelisik Sejarah Perjalanan Haji
Perjalanan haji sekarang ini bukanlah menjadi suatu hal yang istimewa lagi, tentu sudah banyak warga Indonesia yang melakukan perjalanan haji bahkan di sekeliling kita sudah banyak “ibu dan pak haji” bertebaran. Tentu kita penasaran apakah sejak dari dahulu kala perjalanan haji mudah dilakukan orang indonesia?. Menurut sumber-sumber di internet perjalanan haji di Indonesia sudah ada sejak abad ke-19. Saat itu, masyarakat yang terdaftar sebagai jamaah haji harus bersabar menempuh perjalanan yang panjang hingga berbulan-bulan untuk sampai ke Mekkah. Perjalanan panjang itu ditempuh melalui laut dengan menggunakan kapal layar. Meskipun pada masa itu jamaah haji sudah ada yang berhasil diberangkatkan, ternyata mereka semua berangkat tidak dengan koordinasi pemerintah ketika itu. Waktu itu belum berdiri negara Indonesia, yang ada adalah pemerintahan Hindia Belanda, sehingga wajar kalau mereka berangkat secara sendirisendiri. Namun, tidak berapa lama kemudian Belanda mengeluarkan sejumlah peraturan haji yang salah satunya adalah Ordonasi di tahun 1825.
Tetapi menurut sumber yang lain ternyata pada zaman kerajaan-kerajaan di indonesia para raja-raja telah mengutus utusannya ke Mekkah. Hubungan Muslim Nusantara dan Timur Tengah terkoneksi sejak Islam berkembang di Nusantara. Berdasarkan studi Azyumardi Azra (Jaringan Ulama,1998), hubungan itu bersifat politis dan keilmuan. Hubungan politis terjalin antara sejumlah kerajaan di Nusantara dengan Dinasti Utsmani. Aceh, Banten, Mataram, telah mengirimkan utusan ke Haramain (Mekkah-Madinah) sejak abad ke-17. Selain berhaji, mereka juga membawa gelar sultan dari Syarif Mekkah (penguasa Mekkah). Bisa jadi sebagai penguat wibawa atas kekuasaan mereka. Tetapi ada juga hubungan keilmuan. Sejak Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji, kian banyak pula yang menuntut ilmu pada abad ke-14 hingga ke-15. Hal itulah yang mendorong munculnya komunitas Jawi. Orang Arab menyebutnya ashab Al Jawiyin (saudara kita orang Jawi). Jawi beradal dari Jawa. Komunitas Jawi untuk menyebut orang-orang yang berasal dari Nusantara (bahkan Asia Tenggara). Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf Al- Makassary (Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke- 17. Syekh Abdul Shomad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalsel), Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf Tarekat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18. Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena tak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram. Peneliti sufisme dari Universitas Utrecht, Belanda, Martin van Bruinessen (Kitab Kuning, 1995) menyebutkan ada tiga ulama yang menjadi guru di Masjidil Haram. Pengaruhnya pun sangat besar terhadap jemaah haji di Nusantara.
Kemudian, pada tahun 1912, Perserikatan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan secara bersama mendirikan Bagian Penolong Haji dan diketuai KH M Sudjak. Pendirian lembaga ini ternyata mampu menjadi perintis berdirinya lembaga serupa saat itu. Dan pada 1922, pemerintah saat itu berinisiatif mendirikan Direktorat Urusan Haji. Pendirian itu kemudian mengilhami Volksraad untuk mengubah poin dalam ordinasi haji. Dalam ordonasi yang kemudian dikenal dengan Pilgrim Ordinasi 1922 disebutkan bahwa bangsa pribumi dapat mengusahakan pengangkutan calon haji. Dengan adanya perubahan itu, secara perlahan pengiriman jamaah haji mulai dilakukan secara bersamaan oleh pribadi dan negara. Bagi masyarakat saat itu, kondisi itu tentu saja cukup melegakan karena semakin memudahkan masyarakat yang ingin berhaji. Setelah berlangsung cukup baik, aktivitas pemberangkatan jamaah haji sempat vakum selama kurun waktu 1945-1949. Namun, pemberangkatan kembali jamaah haji ke Mekkah baru benar-benar dilaksanakan pada 1949/1950. Pada awal penyelenggaraan kembali, pengiriman dilakukan dengan melibatkan secara bersamaan antara Departemen Agama, Yayasan Perjalanan Ibadah Haji (YPIH) dan badan-badan lain yang terkait. Alasan dilibatkannya lembaga terkait, karena saat itu Indonesia dianggap baru merdeka dan karenanya diperlukan seluruh potensi yang ada sesusai fungsi dan kedudukan masing-masing.
Pada awal-awal penyelenggaraan kembali, negara belum bisa mendapat keuntungan karena saat itu masih dalam tahap peralihan dan negara sama sekali belum berpengalaman. Pada awal penyelenggaraan itu, negara juga dipengaruhi oleh badal-badal syekh dan broker atau tengkulak haji. Dari sana, kemudian muncul usaha-usaha perorangan dan panitia-panitia penyokong haji yang banyak melibatkan pihak swasta dan jasa haji. Penyelenggaraan haji oleh swasta saat itu, pada pelaksanaannya ternyata tidak ada rasa tanggungjawab dari mereka dan justru cenderung mencari keuntungan sebanyak mungkin. Setelah melewati rangkaian masa percobaan yang cukup panjang, akhirnya mulai tahun 1969 pemerintah secara penuh menangani pemberangkatan jamaah haji. Pengambilalihan penuh itu dilakukan karena sebelumnya banyak calon jamaah yang mengeluhkan banyaknya kendala saat diberangkatkan oleh swasta. Bahkan, dalam keluhan itu tidak sedikit ada yang mengaku akhirnya gagal diberangkatkan ke Tanah Suci. Maka dengan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan mengambil alih semua proses penyelenggaraan perjalanan haji oleh pemerintah. Dan karenanya, dua penyelanggara ibadah haji milik swasta dan perorangan, yakni Yayasan Penyelenggaraan Ibadah Haji (YPHI) dan PT Arafat, yang masing-masing sebelumnya. Mulai sejak itulah Indonesia rutin mengirimkan jemaah haji ke tanah suci dengan koordinasi pemerintah seperti sekarang ini.
Cr: antaranews.com, internasional-kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar